---

A leading beverage brand in Indonesia and even the world, is reported to have experienced a drastic decline following a boycott campaign on various social media platforms because it was accused of supporting Israel in the conflict with Palestine. The management has denied it, but as usual, it has not immediately been able to erode the doubts of the Indonesian people that the French-based drinking water company has nothing to do with Israel. Strong denials sometimes even cause the opposite reaction from the public. This can be seen from comments on various social media.

The drinking water company is not alone. Many franchise companies have had to close their outlets due to being associated with the Israel-Palestine conflict. This phenomenon has not only occurred in Indonesia, but also in a number of other countries, including countries where Muslims are not the majority. The movement to reject certain products has become an oasis in the desert in carrying out civil society resistance against the hegemony of the capitalist-leaning industry. How can this step become a strategic option as a means of pressure to change policies?

Economic and political

The boycott action cannot be seen solely from a political perspective. Various events around the world show that political issues have shifted to economic issues. The success of the rejection is highly dependent on the scale and duration of the boycott and the level of dependence of the company on the market (Beghin, 1988). The longer the boycott and the more dependent the company is on the perpetrators, the worse the economic impact.

In the Israeli-Palestinian conflict, acts of violence against civilians in Gaza will make the boycott last as long as possible. Violence after violence keeps the humanitarian issue eternal and increasingly rooted in the minds of the people. This makes the boycott continue even though the masses do not have to take to the streets to shout their aspirations. Up to this point, an understanding of communication strategies, mass psychology, law, and even anthropology plays a very important role in maintaining the effectiveness of the boycott call.

Rationality and validity

Boycott actions become one of the pressure tools when the diplomatic path reaches a dead end. This means that boycotts are not the main choice and must be carried out strategically in order to have an impact on policy changes. Although it cannot be separated from emotional influences, in its implementation it must also pay attention to rationality and validity. Otherwise, the boycott action will be easily exploited for business interests that will actually distance the action from noble goals.

Usually, religious and humanitarian issues are responded to more quickly by the public to support the boycott. Without checking the information, some groups immediately call for a boycott of certain products. In fact, for example, there is no accurate information that the product supports or does not support genocide. Spaces like this must be filled with education from civil institutions whose truth can be confirmed.

The publication of product releases connected to human rights violators, for example, greatly helps the public to make quick, precise, and accurate decisions. In fact, now there is an application to ensure whether a product is related to a particular country or company or not. The public also needs education about the use of these applications, especially from the lower middle class.

On the other hand, the boycott action affects the economic, social, and cultural lives of the people who depend on the company for their livelihood (Louis et al., 2023). For this reason, careful consideration is needed from various aspects of the consequences of a mass boycott so that it does not have a broad impact. The losses experienced by the community should not be greater than the incident that triggered the boycott action. ***

---

---

---

Boikot Sebagai Pilihan untuk Menekan

SEBUAH merek minuman kemasan terkemuka di Indonesia bahkan dunia, dikabarkan mengalami penurunan drastis menyusul kampanye boikot di berbagai platform media sosial karena dituding mendukung Israel dalam konflik dengan Palestina. Bantahan dari manajemen sudah disampaikan, tetapi seperti biasa, tidak langsung bisa mengikis keraguan masyarakat Indonesia bahwa perusahaan air minuman yang berpusat di Perancis itu tidak ada kaitannya dengan Israel. Bantahan keras terkadang malah menimbulkan reaksi sebaliknya dari publik. Hal itu bisa terbaca dari komentar di berbagai media sosial.

Perusahaan air minum itu tak sendiri. Banyak perusahaan waralaba harus menutup gerainya akibat dikaitkan dengan konflik Israel – Palestina. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di sejumlah negara lain, termasuk di negara yang penganut Islam bukan mayoritas. Gerakan penolakan terhadap produk tertentu menjadi oase di tengah gurun dalam melakukan perlawanan masyarakat sipil terhadap hegemoni industri yang cenderung kapitalis. Bagaimana langkah ini menjadi salah satu pilihan strategis sebagai alat penekan untuk mengubah kebijakan?

###Ekonomis dan politis
Aksi boikot tak bisa dilihat dari kaca mata politis semata. Berbagai kejadian di belahan dunia memperlihatkan isu-isu politik bergeser menjadi isu ekonomi. Keberhasilan penolakan sangat bergantung pada skala dan durasi boikot serta tingkat ketergantungan perusahaan pada pasar (Beghin, 1988). Semakin panjang aksi pemboikotan dan semakin tergantung perusahaan tersebut kepada pelaku aksi, maka semakin berdampak buruk secara ekonomis.

Dalam konflik Israel – Palestina, aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat sipil di Gaza, akan membuat durasi boikot sepanjang panjang. Kekerasan demi kekerasan menjaga isu kemanusiaan terus abadi dan kian mengakar di pikiran masyarakat. Hal ini membuat pemboikotan terus berlanjut meski massa tidak harus turun ke jalanan untuk meneriakkan aspirasi. Sampai di sini, pemahaman tentang strategi komunikasi, psikologi massa, hukum, bahkan antropologi sangat berperan dalam menjaga efektivitas seruan pemboikotan.

Rasionalitas dan validitas

Aksi boikot menjadi salah satu alat penekan ketika jalur diplomasi mengalami jalan buntu. Artinya, boikot bukan pilihan utama dan harus dilakukan dengan strategis agar berdampak terhadap perubahan kebijakan. Meski tak bisa dipisahkan dari pengaruh emosional, dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan rasionalitas dan validitas. Jika tidak, aksi pemboikotan akan mudah ditunggangi untuk kepentingan bisnis yang justru semakin menjauhkan aksi dari tujuan mulia.

Biasanya, isu-isu agama dan kemanusiaan lebih cepat direspons masyarakat untuk mendukung pemboikotan. Tanpa tabayyun terhadap informasi, ada kelompok langsung menyerukan boikot terhadap produk tertentu. Padahal, misalnya, tidak ada informasi akurat bahwa produk tersebut mendukung atau tidak mendukung genosida. Ruang seperti ini harus diisi dengan edukasi dari lembaga sipil yang bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Penerbitan rilis produk yang terhubung dengan pelanggar HAM, misalnya, sangat membantu masyarakat untuk mengambil keputusan cepat, tepat, dan akurat. Bahkan, sekarang sudah ada aplikasi untuk memastikan sebuah produk terkait dengan negara atau perusahaan tertentu atau tidak. Masyarakat juga membutuhkan edukasi tentang penggunaan aplikasi tersebut, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Di sisi lain, aksi boikot berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi sosial, dan budaya masyarakat yang menggantungkan hidup dari perusahaan tersebut (Louis dkk, 2023). Untuk itulah dibutuhkan pertimbangan matang dari berbagai aspek akibat dari boikot massal agar tidak berdampak luas. Kerugian yang dialami masyarakat jangan sampai lebih besar dibandingkan dengan kejadian yang memicu aksi boikot.[]

---